Istilah baru yang sudah dikenal cukup lama. Maka bisa dibilang kudet
alias kurang up date kalo masih ada diantara sobat muda yang ga kenal
itu Virus Merah Jambu. Ini bukan virus sebenarnya, jika ditempatkan di
saat dan ditujukan pada obyek yang tepat. Sayangnya mayoritas generasi
muda ga demikian adanya. Jadilah ia virus yang mematikan kemuliaan
generasi muslim, semoga virus ini jauh dari sobat muda semua deh,..atau
kalaupun terlanjur menyerang, segera saja virus itu menghilang. Karena
bahaya sobat,,jika diteruskan. Akan menghambat dan mengotori
eksistensi iman. Bisa melemahkan potensi dan menjauhkan kita dari kasih
sayang illahi. Mau tau kenapa?
Pernahkah sobat muda fikirkan,
tentang kasih sayang yang Allah curahkan untuk kita semua? sehingga
ukuran sempurnanya iman seseorang salah satunya adalah dari seberapa
besar kasih sayang kita terhadap saudaranya seiman, membenci dan
mencintai hanya karena Allah semata.nah, atas dasar rasa sayang inilah
ku sampaikan risalahNya. Tentang virus merah jambu.
Pada dasarnya
rasa sayang yang special, takut kehilangan, ingin saling menjaga, ingin
selalu bersama, adalah fitrah manusia. Semua yang normal diantara kita
pasti pernah merasakanya. Tak seorangpun bisa menafikanya, bukan?
Orang banyak menyebut itu cinta. Mungkin sobat muda juga?
Perasaan
itu bisa jadi motivator yang hebat dalam proses perbaikan diri
seseorang. Bisa membuat semua jadi jauh lebih istimewa dari sebelumnya.
Hingga bisa juga membuat manusia benar-benar terlena dalam ma’siat dan
jatuh dalam jurang nista. Ya, perasaan itu bisa memuliakan, bisa juga
menghinakan seseorang. Ajaib, bukan? Ya, tergantung bagaimana seseorang
itu menyikapi ketika perasaan itu datang.
Sobat muda,
masih ingatkah antum akan hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa
wanita itu dinikah karena 4 hal: kecantikan, harta, keturunan, dan
agamanya….dst??ana yakin antum pasti ingat, sekarang, beberapa
pertanyaan untuk antum yang wajib dicari tau jawabanya:
1. Kenapa
redaksi yang digunakan adalah “wanita dinikahi….” tidak menggunakan
redaksi: laki-laki di pilih (oleh wanita)….???padahal dalam tafsir
hadits hal tersebut juga bermakna sebaliknya? Padahal setau ana dalam
ilmu bahasa arab, penggunaan jama’ dalam isim mudzakar mencakup juga
untuk wanita, tapi tidak berlaku sebalikya?
2. kenapa ke_faqih_an
(bukan sekedar pengetahuan) agama yang harus di utamakan? kenapa??
pertanyaan ini juga yang sempat menghantui ana ketika awal harus
berhadapan pada masalah yang sama. Antum pasti paham, agama bukan
sekedar pelajaran, tapi pemahaman yang harus di aplikasikan.
3.
Kenapa kata “cinta” tidak digunakan?? Maksud ana, kenapa menurut
Rasulullah, manusia paling agung se-jagat ini, pernikahan bukan
didasarkan atas “cinta”?? bukankah kebanyakan dari kita inginya menikah
karena cinta? Pasti bukan tanpa maksud Rasulullah menyatakan demikian.
Just trust it!!!
Secara pribadi ana berpendapat, bahwa “perasaa
cinta” itu hanyalah konsekwensi dari 4 hal yang disebutkan oleh
rasulullah tadi. Lainya,, silahkan antum berpendapat. Wanita memang
dinikah. Bukan menikahi, itu fitrah. Mereka hanya berhak mengajukan
diri, mengambil keputusan untuk menerima atau menolak, bukan mengambil
inisiatif. Ia adalah perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah mereka yang shalihah. Maka adalah hak dari kaum adam untuk
bersikap tegas. Apakah akan menjaga atau merusaknya, akan membersihkan
atau bahkan mengotorinya, akan menjadikanya lebih indah atau membuatnya
kusam, akan membimbingnya agar lebih bercahaya atau malah membuatnya
meredup. Dan fitrah manusia pada dasarnya punya kemampuan untuk itu.
Pilihan telah ada dalam genggaman, tinggal kita..langkah ke depan mau
seperti apa. Wanita itu rentan, seperti kaca yang brdebu. Harus di
bersihkan tapi jangan sampai ia pecah. Seperti tulang rusuk paling
atas, kata para ahli tulang rusuk paling atas ialah tulang rusuk yang
paling bengkok di banding lainya. Harus di luruskan, tapi jangan sampai
patah.
Kita sama-sama tahu, aturan islam dalam pergaulan lawan
jenis. Kita sama tahu, pacaran bukan diharamkan karena hukum asal dari
pacaran itu sendiri, tapi dari perbuatan sebagai konsekwensinya. Bahkan
kita bisa membedakan, mana aktivitas yang di halalkan atau
diharamkanNya. Dan jangan karena alas an kita adalah manusia biasa,
menjadikan kita munafik untuk mengakui dan melaksanakan titahNya.
Jangan sekali-kali. Semua orang pernah melakukan kesalahan, setiap
orang pernah merasakan sakit ketika harus terjatuh, termasuk ana. Tapi
antum juga tahu, yang terpenting bukanlah seberapa sering kita jatuh,
tapi seberapa kuat kita bangkit dari jatuh itu untuk kemudian berusaha
tidak terjatuh lagi di masa yang akan datang. Antum masih punya banyak
kesempatan untuk kembali mena’ati hukumNya. Sebelum semua terlambat,
dan semoga ana ga terlambat untuk mengingatkan.
Pacaran memang
sebuah ikatan, ikatan yang sangat rentan. Rentan terhadap ke
khawatiran, ketakutan ditinggalkan, rentan pada kemaksiatan..ah,
mungkin antum jauh lebih faham dari ana. Lalu kenapa??
Nah, bagi yang sedang atau ingin pacaran sebelum nikah, ana ingin jawaban antum.
Kenapa
perasaan antum kepadanya, harus melalui ikatan yang jelas salah??
Apakah antum ingin mendahului kehendakNya, dengan memastikan ia
benar-benar akan jadi istri antum kelak?? Ia kalau yang terjadi sesuai
harapan, sedangkan bukan kita yang berhak memastikan?? ’afwan, ana
bukan mendo’akan. Tapi inilah kenyataanya. Perasaan itu bukan jaminan
apa yang akan terjadi di depan kita. Jangankan satu bulan atau bahkan
satu tahun ke depan, yang esok kan terjadi saja tak seorangpun tahu
pasti. Antum masih mungkin bertemu akhwat lain, begitu juga ia. Antum
masih mungkin merasakan cinta pada yang lain, begitu juga dirinya.
Jangankan yang pacaran, yang dah nikah aja kemungkinan itu masih ada.
Lalu untuk apa pacaran?? Yang pasti menambah aktifitas kemaksiatan, dan
tak menutup kemungkinan adanya beban yang mesti di tanggung sebelum
waktunya. Setidaknya beban perasaan, pasti ada. Memang banyak hal manis
yang terasa, tapi ibarat sirup__yang manis, sangat manis__ tapi
akankah selamanya ia kan terasa manis? Ana pernah ditanya oleh sorang
sahabat, dan sekarang ana pengen tanya antum. Kalu disuruh pilih, antum
pilih sirup, atau air putih biasa?? Sirup memang manis, tapi sementara
saja. Setelah habis manisnya, rasa dahaga seringkali tak kunjung
sirna. Kadang masih bisa buat sirup lagi. Tapi jika seandainya stock
gula habis, tak ada lagi sirup… lain halnya dengan air putih. Selain
menyehatkan, ia kan selalu tersedia tuk melepas dahaga. Sahabat tadi
bilang, itulah perumpamaan, perbedaan antara pacaran dan nikah. Sirup
itu manisnya terbatas, sangat sedikit…antum lanjutkan sendiri mencari
maknanya ya..
Sementara dalam Q.S At Taubah ayat 24 Allah
berfirman: “Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasiq”. Keputusan-Nya seperti apa yang sedang kita nanti??
Sementara
di sisi lain kita di tuntut mencintai Allah&RasulNya lebih dari
apapun atau siapapun. Inikah sebuah bukti cinta itu?? Bahkan seolah
panggilan perasaan kepadanya jauh melampaui panggilanNya yang minimal
kita dengar 5 kali dalam sehari. Inikah antum? Sejujurnya ana ga
percaya. Dan ana sangat berharap antum tidak menghancurkan mindset ana
tentang pribadi antum, sobat muda yang disayang Allah, dengan
memaksakan diri meneruskan langkah di jalan yang salah.
Islam
menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang
bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan
tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada
Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai
dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat
(yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat
porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Ana
fikir antum tau itu. Tapi cukupkah sekedar tau?
Kalau antum
(kecuali yang memilih tidak pacaran sebelum nikah) punya solusi yang
lebih baik, untuk antum, dia, dan kesudahan setiap urusan kita,
insyaAllah ana dukung. Walaupun jika akhirnya antum memutuskan untuk
menikah lebih cepat (sejujurnya ana akan iri, kalah cepet sih…hehe),
tapi ana dukung itu. Tapi jika tidak, antum bisa lepaskan dia. Biarkan
dia bebas menentukan arah hidupnya. Bukan berarti antum kehilangan
kasempatan di kemudian hari, bahkan ketika antum mempertahankan prinsip
yang memang pantas dipertahankan, ia akan melihat antum sebagai
pribadi yang istimewa, yang lain dari yang lain. Suer!! Tapi itu jika
dia melihat antum menggunakan sudut pandang sebagai seorang muslim
sejati juga. Biarkan ia menjadi lebih baik dengan caranya, antum juga
menjadi lebih baik dalam bimbinganNya. Semoga ketika saatnya tiba,
Allah pertemukan kalian dalam ridhaNya,
Ana fikir ini langkah
yang sederhana, meski tak mudah. Perasaan secara pribadi, dan
Lingkungan mungkin akan bereaksi keras, tapi itulah ujian. Tinggal
antum, mana yang ingin dipertahankan. Toh semua ini hanya pilihan, yang
membawa konsekwensi untuk langkah selanjutnya.
Jangan berfikir
sulit dan rumit, biarkan semua jelas dan terang. Tanpa status sebagai
pacar, antum tak pernah kehilangan kesempatan untuk menikahinya suatu
saat nanti. Begitu juga ia, bukan berarti tak boleh menyayangi. Tapi ia
memang harus belajar sedikit lebih keras, apa yang boleh atau tidak
boleh untuk saat ini. Kata para ulama’, sabar itu hanya sebentar.
Karena buah kesabaran itu jauh lebih manis dirasakan dari pada menunggu
saat pohon kesabaran itu tumbuh dan berbuah. Percayalah, semua kan
indah pada waktunya.
Antum ga lupa kan, firman Allah dalam Q.S.
Al Ankabut ayat 2: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji
lagi?”
Begitulah, semakin tinggi tingkat keimanan, semakin berat
pula ujian yang mesti di lalui. Dan Allah tak pernah memberi ujian di
luar kemampuan kita untuk menyelesaikanya.
Yang ingin ana
sampaikan hanyalah, pacaran sebelum nikah bukan jalan terbaik buat
antum maupun dia mengungkapkan perasaan. Karena konsekwensi yang
dibawanyalah, yang akan menjerumuskan kita ke jalan-jalan syetan.
Diakui atau tidak, seperti itulah faktanya. Padahal tanpa pacaran,
bukankah semua tetap bisa berjalan dengan lebih baik? Lalu untuk apa
mengikat diri dengan ikatan yang rentan? Sementara antum tau pasti,
ikatan yang rentan itu seperti apa. Ana hanya ingin antum benar-benar
berfikir, dan semua ini hanyalah pilihan. Yang pada akhirnya hak antum
sepenuhnya untuk memutuskan.
Jangankan yang pacaran (jangka
pendek/panjang), yang besok pagi mau nikah aja masih ada kemungkinan
batal. Ya, meskipun dengan berbagai factor lain. Tapi yang terpenting,
ketika kita merencanakan masa depan (yang memang mubah untuk
direncanakan), kita hanya bisa sekedar merencanakan dan berusaha
merealisasikan sesuai rencana itu, bukan menentukan hasilnya. Jadi sikap
tawakkal memang mesti di bangun sejak awal perjalanan. Antum lebih tau
jawabanya, apakah pacaran membangun sikap tawakkal?? Setau ana,
pacaran tidak bisa menjamin apapun dalam sebuah rencana pernikahan.
Apalagi jika yang ingin dibangun adalah sebuah keluarga yang penuh
dengan barokahNya. Bukankah sebaik-baik pernikahan adalah pernikahan
yang barokah?? Karena itulah, do’a yang Rasulullah anjurkan untuk
mendo’akan pengantin adalah “barakallaahu laka……” bukan do’a “semoga
bahagia, banyak anak…” atau lainya. Kata ustadz salim A.Fillah,
pernikahan yang barakah akan dicapai jika langkah yang ditempuh benar
sejak awalnya.. antum pasti mengerti maksudnya.
Tenanglah, antum
tak pernah sendirian meniti kehidupan ini, di jalan ini. Ana secara
pribadi, atau teman-teman yang lain, bukan tak pernah ingin merasakan
indahnya pacaran. Sekali lagi, Perasaan itu manusiawi. Tapi
bagaimanapun juga, kita harus menyikapinya sesuai ideology yang kita
yakini. Jika antum menganggap persahabatan kita, juga dengan yang
lainya adalah sebuah persahabatan yang baik untuk mencari ridhaNya,
maka semoga setiap usaha kita untuk mendekat kepadaNya tak ada yang
tersiakan. Dan menjadi hak antum, untuk memilih bersahabat dengan
siapa. Bukankah Rasulullah pernah bilang, seseorang itu bisa dilihat,
dengan siapa ia berteman? Kata para ustadz (lagi..) sebaik-baik pacaran
adalah pacaran setelah pernikahan. Dan langkah-langkah ta’aruf harus
di lalui sesuai syari’atNya. Bukan asal jalan…
Sudah tiba masa,
dimana harus kita tunjukkan, siapa kita sebenarnya. Wahai generasi
muslim sejati. Dimana ideology benar-benar diuji. Dimana lingkungan
sering tak sesuai dengan ingin dalam hati. Ikhwah fillah, para kader
dakwah punya mimpi sendiri, untuk membangun sebuah kemuliaan dalam
peradaban umat ini. Lalu dimana kita posisikan diri? Ada banyak
pilihan, siap menanti hasil keputusan setiap pribadi. Yang membawa
konsekwensi kepada apa yang kan terjadi.
Kali ini ana
mengingatkan, mungkin lain waktu ana yang harus diingatkan. Ana
percaya, antum bisa jadi sahabat yang baik. Untuk ana, juga lainya..
keep spirit yach…don’t give up to be better.
Barangsiapa Allah tujuannya, niscaya dunia akan melayaninya
Namun siapa dunia tujuannya, niscaya kan letih dan pasti sengsara
Diperbudak dunia sampai akhir masa
Allah melihat, Allah mendengar,
segala sikap dan kata-kata
Tiada kan luput satu pun jua, Allah tak kan lupa selama-lamanya….
(antm ingat, syair nasyid ini?)
Pilihan.
Sekolah, cita-cita, aktivitas, kehidupan beragama, jodoh dan segala
sikap hidup adalah pilihan. Kita melakukannya dengan sadar atau tidak.
Dengan pemahaman atau tidak. Secara reflek atau dipikir-pikir dulu.
Kita pilih sendiri atau dipilihkan oleh orang lain untuk kita. Semua
adalah PILIHAN. Dan setiap pilihan akan membawa pada arah yang berbeda,
hasil yang berbeda, serta konsekuensi berbeda pula. Ada konsekuensi
dan hasil yang merupakan akibat logis dari pilihan itu dan sebelumnya
sudah kita prediksikan. Ada yang merupakan akibat dan hasil yang di
luar control kita, dan tak kita duga sebelumnya. Tak masalah. Karena
bukan itu poinnya. Bukan HASIL dari pilihan itu yang terpenting.
Namun
bagaimana proses kita memilih: landasan apa yang kita gunakan sebagai
dalil, pengetahuan dan pemahaman terhadap permasalahan dan kesadaran
atas segala resiko dari setiap pilihan. Maka apakah antum akan lebih
suka untuk tidak memilih? Toh, pada akhirnya, saat antum hanya
menjalani suatu kehidupan secara mengalir begitu saja, atau menunggu
dipilih atau dipilihkan oleh orang lain antum tetap akan harus
menjalani satu pilihan. Jika demikian, lebih baik antum memilih dan
memutuskan dengan sadar, dengan segenap ilmu dan pemahaman yang telah
antum miliki. Bahkan sekalipun ternyata pilihan itu salah. Setidaknya
kita sudah pernah memilih.
Bahwa kemudian kenyataan tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan di awal pada saat menjatuhkan pilihan, itu
tidak masalah karena hidup memang demikian. Allah Tahu dan Maha Tahu,
sedang pengetahuan manusia sangat terbatas. Mengambil dan menjalani
setiap pilihan akan membuat kita menyadari begitu banyak keterbatasan
pengetahuan, pengertian dan pemahaman kita. Jika ternyata pilihan itu
salah, setidaknya antum akan mengerti dan menjadi lebih dewasa
karenanya. Antum bisa memilih yang lain lagi. Memilih yang lebih baik
lagi. Dan belajar dari pilihan sebelumnya.
Karena itu, mulai
bangun keberanian untuk memilih, sekarang juga. Memilih berdasarkan
pemahaman dan pengetahuan maksimal yang kita miliki. Bermusyawarah dan
meminta masukan dari orang-orang yang fakih, jika bisa dilakukan.
Kemudian, minta ketetapan kepada Dia Yang Maha Tahu Yang Terbaik Untuk
Kita melalui shalat istikharah, sebagai bentuk pengakuan akan betapa
banyak yang kita tidak tahu dan tidak mampu kontrol hal-hal di luar
kita. Sesudahnya, pasrah dan tawakkal!
Antum ingat, kisah para
sahabat? Kalau tidak, bisa antum baca lagi… bagaimana seorang zaid
sebagai seorang panglima perang bisa mengatakan, bahwa ia lebih
mencintai bermalam di gurun pasir yang sangat dingin untuk menghadang
musuh islam, daripada bermalam dengan seorang gadis meskipun ia sangat
cantik dan ia menyukainya. Bagaimana seorang putra Abu Bakar rela
menceraikan istri yang sangat dicintanya (istrinya juga demikian) hanya
karena perintah ayahnya yang mengkhawatirkan putranya akan lebih
mencintai istrinya dibanding Allah dan RasulNya jika pernikahan itu
diteruskan. Bagaimana seorang Bilal yang menyerahkan seorang gadis yang
hendak dipinangnya kepada sahabatnya, karena ayah gadis itu lebih
menyukai sahabatnya dengan penuh ikhlas.. begitu banyak kisah tauladan
bagaiamana seharusnya kita menjaga rasa, mengungkapkan, dan
menyikapinya. Apakah dengan mengutamakan cinta kepada Allah dan
RasulNya, mereka merasa rugi?? Bahkan mereka bangga atas tingkat iman
yang berhasil diraihnya.. bagaimana dengan kita?
Sejujurnya bukan
ana ingin merasa sok pintar dengan apa yang ana sampaikan. Semoga Allah
melindungi ana dari ucapan yang tak sanggup ana lakukan. Ana juga tak
inginkan murkaNya. Ana tegaskan, bahwa ana tulis semua ini sebagai
sahabat yang menyayangi antum, sebagai sahabat seiman, yang menunaikan
kewajibanya untuk mengingatkan. Dan sangat mungkin, lain kali antum
harus ingatkan ana jika salah. Karena antum juga punya kewajiban untuk
mengingatkan kesalahan yang terindera, bukan?
Semoga Allah tak lelah membimbing kita di jalanNya
www.sobatmudamuslim.wordpress.com
Minggu, 25 Desember 2011
20.14
VMJ_waspada!!
Author:
Phinotcious
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar