Minggu, 25 Desember 2011

VMJ_waspada!!

Istilah baru yang sudah dikenal cukup lama. Maka bisa dibilang kudet alias kurang up date kalo masih ada diantara sobat muda yang ga kenal itu Virus Merah Jambu. Ini bukan virus sebenarnya, jika ditempatkan di saat dan ditujukan pada obyek yang tepat. Sayangnya mayoritas generasi muda ga demikian adanya. Jadilah ia virus yang mematikan kemuliaan generasi muslim, semoga virus ini jauh dari sobat muda semua deh,..atau kalaupun terlanjur menyerang, segera saja virus itu menghilang. Karena bahaya sobat,,jika diteruskan. Akan menghambat dan mengotori eksistensi iman. Bisa melemahkan potensi dan menjauhkan kita dari kasih sayang illahi. Mau tau kenapa?
Pernahkah sobat muda fikirkan, tentang kasih sayang yang Allah curahkan untuk kita semua? sehingga ukuran sempurnanya iman seseorang salah satunya adalah dari seberapa besar kasih sayang kita terhadap saudaranya seiman, membenci dan mencintai hanya karena Allah semata.nah, atas dasar rasa sayang inilah ku sampaikan risalahNya. Tentang virus merah jambu.
Pada dasarnya rasa sayang yang special, takut kehilangan, ingin saling menjaga, ingin selalu bersama, adalah fitrah manusia. Semua yang normal diantara kita pasti pernah merasakanya. Tak seorangpun bisa menafikanya, bukan? Orang banyak menyebut itu cinta. Mungkin sobat muda juga?
Perasaan itu bisa jadi motivator yang hebat dalam proses perbaikan diri seseorang. Bisa membuat semua jadi jauh lebih istimewa dari sebelumnya. Hingga bisa juga membuat manusia benar-benar terlena dalam ma’siat dan jatuh dalam jurang nista. Ya, perasaan itu bisa memuliakan, bisa juga menghinakan seseorang. Ajaib, bukan? Ya, tergantung bagaimana seseorang itu menyikapi ketika perasaan itu datang.

Sobat muda, masih ingatkah antum akan hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa wanita itu dinikah karena 4 hal: kecantikan, harta, keturunan, dan agamanya….dst??ana yakin antum pasti ingat, sekarang, beberapa pertanyaan untuk antum yang wajib dicari tau jawabanya:
1. Kenapa redaksi yang digunakan adalah “wanita dinikahi….” tidak menggunakan redaksi: laki-laki di pilih (oleh wanita)….???padahal dalam tafsir hadits hal tersebut juga bermakna sebaliknya? Padahal setau ana dalam ilmu bahasa arab, penggunaan jama’ dalam isim mudzakar mencakup juga untuk wanita, tapi tidak berlaku sebalikya?
2. kenapa ke_faqih_an (bukan sekedar pengetahuan) agama yang harus di utamakan? kenapa?? pertanyaan ini juga yang sempat menghantui ana ketika awal harus berhadapan pada masalah yang sama. Antum pasti paham, agama bukan sekedar pelajaran, tapi pemahaman yang harus di aplikasikan.
3. Kenapa kata “cinta” tidak digunakan?? Maksud ana, kenapa menurut Rasulullah, manusia paling agung se-jagat ini, pernikahan bukan didasarkan atas “cinta”?? bukankah kebanyakan dari kita inginya menikah karena cinta? Pasti bukan tanpa maksud Rasulullah menyatakan demikian. Just trust it!!!
Secara pribadi ana berpendapat, bahwa “perasaa cinta” itu hanyalah konsekwensi dari 4 hal yang disebutkan oleh rasulullah tadi. Lainya,, silahkan antum berpendapat. Wanita memang dinikah. Bukan menikahi, itu fitrah. Mereka hanya berhak mengajukan diri, mengambil keputusan untuk menerima atau menolak, bukan mengambil inisiatif. Ia adalah perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah mereka yang shalihah. Maka adalah hak dari kaum adam untuk bersikap tegas. Apakah akan menjaga atau merusaknya, akan membersihkan atau bahkan mengotorinya, akan menjadikanya lebih indah atau membuatnya kusam, akan membimbingnya agar lebih bercahaya atau malah membuatnya meredup. Dan fitrah manusia pada dasarnya punya kemampuan untuk itu. Pilihan telah ada dalam genggaman, tinggal kita..langkah ke depan mau seperti apa. Wanita itu rentan, seperti kaca yang brdebu. Harus di bersihkan tapi jangan sampai ia pecah. Seperti tulang rusuk paling atas, kata para ahli tulang rusuk paling atas ialah tulang rusuk yang paling bengkok di banding lainya. Harus di luruskan, tapi jangan sampai patah.
Kita sama-sama tahu, aturan islam dalam pergaulan lawan jenis. Kita sama tahu, pacaran bukan diharamkan karena hukum asal dari pacaran itu sendiri, tapi dari perbuatan sebagai konsekwensinya. Bahkan kita bisa membedakan, mana aktivitas yang di halalkan atau diharamkanNya. Dan jangan karena alas an kita adalah manusia biasa, menjadikan kita munafik untuk mengakui dan melaksanakan titahNya. Jangan sekali-kali. Semua orang pernah melakukan kesalahan, setiap orang pernah merasakan sakit ketika harus terjatuh, termasuk ana. Tapi antum juga tahu, yang terpenting bukanlah seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa kuat kita bangkit dari jatuh itu untuk kemudian berusaha tidak terjatuh lagi di masa yang akan datang. Antum masih punya banyak kesempatan untuk kembali mena’ati hukumNya. Sebelum semua terlambat, dan semoga ana ga terlambat untuk mengingatkan.
Pacaran memang sebuah ikatan, ikatan yang sangat rentan. Rentan terhadap ke khawatiran, ketakutan ditinggalkan, rentan pada kemaksiatan..ah, mungkin antum jauh lebih faham dari ana. Lalu kenapa??
Nah, bagi yang sedang atau ingin pacaran sebelum nikah, ana ingin jawaban antum.
Kenapa perasaan antum kepadanya, harus melalui ikatan yang jelas salah?? Apakah antum ingin mendahului kehendakNya, dengan memastikan ia benar-benar akan jadi istri antum kelak?? Ia kalau yang terjadi sesuai harapan, sedangkan bukan kita yang berhak memastikan?? ’afwan, ana bukan mendo’akan. Tapi inilah kenyataanya. Perasaan itu bukan jaminan apa yang akan terjadi di depan kita. Jangankan satu bulan atau bahkan satu tahun ke depan, yang esok kan terjadi saja tak seorangpun tahu pasti. Antum masih mungkin bertemu akhwat lain, begitu juga ia. Antum masih mungkin merasakan cinta pada yang lain, begitu juga dirinya. Jangankan yang pacaran, yang dah nikah aja kemungkinan itu masih ada. Lalu untuk apa pacaran?? Yang pasti menambah aktifitas kemaksiatan, dan tak menutup kemungkinan adanya beban yang mesti di tanggung sebelum waktunya. Setidaknya beban perasaan, pasti ada. Memang banyak hal manis yang terasa, tapi ibarat sirup__yang manis, sangat manis__ tapi akankah selamanya ia kan terasa manis? Ana pernah ditanya oleh sorang sahabat, dan sekarang ana pengen tanya antum. Kalu disuruh pilih, antum pilih sirup, atau air putih biasa?? Sirup memang manis, tapi sementara saja. Setelah habis manisnya, rasa dahaga seringkali tak kunjung sirna. Kadang masih bisa buat sirup lagi. Tapi jika seandainya stock gula habis, tak ada lagi sirup… lain halnya dengan air putih. Selain menyehatkan, ia kan selalu tersedia tuk melepas dahaga. Sahabat tadi bilang, itulah perumpamaan, perbedaan antara pacaran dan nikah. Sirup itu manisnya terbatas, sangat sedikit…antum lanjutkan sendiri mencari maknanya ya..
Sementara dalam Q.S At Taubah ayat 24 Allah berfirman: “Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq”. Keputusan-Nya seperti apa yang sedang kita nanti??
Sementara di sisi lain kita di tuntut mencintai Allah&RasulNya lebih dari apapun atau siapapun. Inikah sebuah bukti cinta itu?? Bahkan seolah panggilan perasaan kepadanya jauh melampaui panggilanNya yang minimal kita dengar 5 kali dalam sehari. Inikah antum? Sejujurnya ana ga percaya. Dan ana sangat berharap antum tidak menghancurkan mindset ana tentang pribadi antum, sobat muda yang disayang Allah, dengan memaksakan diri meneruskan langkah di jalan yang salah.
Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Ana fikir antum tau itu. Tapi cukupkah sekedar tau?
Kalau antum (kecuali yang memilih tidak pacaran sebelum nikah) punya solusi yang lebih baik, untuk antum, dia, dan kesudahan setiap urusan kita, insyaAllah ana dukung. Walaupun jika akhirnya antum memutuskan untuk menikah lebih cepat (sejujurnya ana akan iri, kalah cepet sih…hehe), tapi ana dukung itu. Tapi jika tidak, antum bisa lepaskan dia. Biarkan dia bebas menentukan arah hidupnya. Bukan berarti antum kehilangan kasempatan di kemudian hari, bahkan ketika antum mempertahankan prinsip yang memang pantas dipertahankan, ia akan melihat antum sebagai pribadi yang istimewa, yang lain dari yang lain. Suer!! Tapi itu jika dia melihat antum menggunakan sudut pandang sebagai seorang muslim sejati juga. Biarkan ia menjadi lebih baik dengan caranya, antum juga menjadi lebih baik dalam bimbinganNya. Semoga ketika saatnya tiba, Allah pertemukan kalian dalam ridhaNya,
Ana fikir ini langkah yang sederhana, meski tak mudah. Perasaan secara pribadi, dan Lingkungan mungkin akan bereaksi keras, tapi itulah ujian. Tinggal antum, mana yang ingin dipertahankan. Toh semua ini hanya pilihan, yang membawa konsekwensi untuk langkah selanjutnya.
Jangan berfikir sulit dan rumit, biarkan semua jelas dan terang. Tanpa status sebagai pacar, antum tak pernah kehilangan kesempatan untuk menikahinya suatu saat nanti. Begitu juga ia, bukan berarti tak boleh menyayangi. Tapi ia memang harus belajar sedikit lebih keras, apa yang boleh atau tidak boleh untuk saat ini. Kata para ulama’, sabar itu hanya sebentar. Karena buah kesabaran itu jauh lebih manis dirasakan dari pada menunggu saat pohon kesabaran itu tumbuh dan berbuah. Percayalah, semua kan indah pada waktunya.
Antum ga lupa kan, firman Allah dalam Q.S. Al Ankabut ayat 2: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”
Begitulah, semakin tinggi tingkat keimanan, semakin berat pula ujian yang mesti di lalui. Dan Allah tak pernah memberi ujian di luar kemampuan kita untuk menyelesaikanya.
Yang ingin ana sampaikan hanyalah, pacaran sebelum nikah bukan jalan terbaik buat antum maupun dia mengungkapkan perasaan. Karena konsekwensi yang dibawanyalah, yang akan menjerumuskan kita ke jalan-jalan syetan. Diakui atau tidak, seperti itulah faktanya. Padahal tanpa pacaran, bukankah semua tetap bisa berjalan dengan lebih baik? Lalu untuk apa mengikat diri dengan ikatan yang rentan? Sementara antum tau pasti, ikatan yang rentan itu seperti apa. Ana hanya ingin antum benar-benar berfikir, dan semua ini hanyalah pilihan. Yang pada akhirnya hak antum sepenuhnya untuk memutuskan.
Jangankan yang pacaran (jangka pendek/panjang), yang besok pagi mau nikah aja masih ada kemungkinan batal. Ya, meskipun dengan berbagai factor lain. Tapi yang terpenting, ketika kita merencanakan masa depan (yang memang mubah untuk direncanakan), kita hanya bisa sekedar merencanakan dan berusaha merealisasikan sesuai rencana itu, bukan menentukan hasilnya. Jadi sikap tawakkal memang mesti di bangun sejak awal perjalanan. Antum lebih tau jawabanya, apakah pacaran membangun sikap tawakkal?? Setau ana, pacaran tidak bisa menjamin apapun dalam sebuah rencana pernikahan. Apalagi jika yang ingin dibangun adalah sebuah keluarga yang penuh dengan barokahNya. Bukankah sebaik-baik pernikahan adalah pernikahan yang barokah?? Karena itulah, do’a yang Rasulullah anjurkan untuk mendo’akan pengantin adalah “barakallaahu laka……” bukan do’a “semoga bahagia, banyak anak…” atau lainya. Kata ustadz salim A.Fillah, pernikahan yang barakah akan dicapai jika langkah yang ditempuh benar sejak awalnya.. antum pasti mengerti maksudnya.
Tenanglah, antum tak pernah sendirian meniti kehidupan ini, di jalan ini. Ana secara pribadi, atau teman-teman yang lain, bukan tak pernah ingin merasakan indahnya pacaran. Sekali lagi, Perasaan itu manusiawi. Tapi bagaimanapun juga, kita harus menyikapinya sesuai ideology yang kita yakini. Jika antum menganggap persahabatan kita, juga dengan yang lainya adalah sebuah persahabatan yang baik untuk mencari ridhaNya, maka semoga setiap usaha kita untuk mendekat kepadaNya tak ada yang tersiakan. Dan menjadi hak antum, untuk memilih bersahabat dengan siapa. Bukankah Rasulullah pernah bilang, seseorang itu bisa dilihat, dengan siapa ia berteman? Kata para ustadz (lagi..) sebaik-baik pacaran adalah pacaran setelah pernikahan. Dan langkah-langkah ta’aruf harus di lalui sesuai syari’atNya. Bukan asal jalan…
Sudah tiba masa, dimana harus kita tunjukkan, siapa kita sebenarnya. Wahai generasi muslim sejati. Dimana ideology benar-benar diuji. Dimana lingkungan sering tak sesuai dengan ingin dalam hati. Ikhwah fillah, para kader dakwah punya mimpi sendiri, untuk membangun sebuah kemuliaan dalam peradaban umat ini. Lalu dimana kita posisikan diri? Ada banyak pilihan, siap menanti hasil keputusan setiap pribadi. Yang membawa konsekwensi kepada apa yang kan terjadi.
Kali ini ana mengingatkan, mungkin lain waktu ana yang harus diingatkan. Ana percaya, antum bisa jadi sahabat yang baik. Untuk ana, juga lainya.. keep spirit yach…don’t give up to be better.
Barangsiapa Allah tujuannya, niscaya dunia akan melayaninya
Namun siapa dunia tujuannya, niscaya kan letih dan pasti sengsara
Diperbudak dunia sampai akhir masa
Allah melihat, Allah mendengar,
segala sikap dan kata-kata
Tiada kan luput satu pun jua, Allah tak kan lupa selama-lamanya….
(antm ingat, syair nasyid ini?)
Pilihan. Sekolah, cita-cita, aktivitas, kehidupan beragama, jodoh dan segala sikap hidup adalah pilihan. Kita melakukannya dengan sadar atau tidak. Dengan pemahaman atau tidak. Secara reflek atau dipikir-pikir dulu. Kita pilih sendiri atau dipilihkan oleh orang lain untuk kita. Semua adalah PILIHAN. Dan setiap pilihan akan membawa pada arah yang berbeda, hasil yang berbeda, serta konsekuensi berbeda pula. Ada konsekuensi dan hasil yang merupakan akibat logis dari pilihan itu dan sebelumnya sudah kita prediksikan. Ada yang merupakan akibat dan hasil yang di luar control kita, dan tak kita duga sebelumnya. Tak masalah. Karena bukan itu poinnya. Bukan HASIL dari pilihan itu yang terpenting.
Namun bagaimana proses kita memilih: landasan apa yang kita gunakan sebagai dalil, pengetahuan dan pemahaman terhadap permasalahan dan kesadaran atas segala resiko dari setiap pilihan. Maka apakah antum akan lebih suka untuk tidak memilih? Toh, pada akhirnya, saat antum hanya menjalani suatu kehidupan secara mengalir begitu saja, atau menunggu dipilih atau dipilihkan oleh orang lain antum tetap akan harus menjalani satu pilihan. Jika demikian, lebih baik antum memilih dan memutuskan dengan sadar, dengan segenap ilmu dan pemahaman yang telah antum miliki. Bahkan sekalipun ternyata pilihan itu salah. Setidaknya kita sudah pernah memilih.
Bahwa kemudian kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan di awal pada saat menjatuhkan pilihan, itu tidak masalah karena hidup memang demikian. Allah Tahu dan Maha Tahu, sedang pengetahuan manusia sangat terbatas. Mengambil dan menjalani setiap pilihan akan membuat kita menyadari begitu banyak keterbatasan pengetahuan, pengertian dan pemahaman kita. Jika ternyata pilihan itu salah, setidaknya antum akan mengerti dan menjadi lebih dewasa karenanya. Antum bisa memilih yang lain lagi. Memilih yang lebih baik lagi. Dan belajar dari pilihan sebelumnya.
Karena itu, mulai bangun keberanian untuk memilih, sekarang juga. Memilih berdasarkan pemahaman dan pengetahuan maksimal yang kita miliki. Bermusyawarah dan meminta masukan dari orang-orang yang fakih, jika bisa dilakukan. Kemudian, minta ketetapan kepada Dia Yang Maha Tahu Yang Terbaik Untuk Kita melalui shalat istikharah, sebagai bentuk pengakuan akan betapa banyak yang kita tidak tahu dan tidak mampu kontrol hal-hal di luar kita. Sesudahnya, pasrah dan tawakkal!
Antum ingat, kisah para sahabat? Kalau tidak, bisa antum baca lagi… bagaimana seorang zaid sebagai seorang panglima perang bisa mengatakan, bahwa ia lebih mencintai bermalam di gurun pasir yang sangat dingin untuk menghadang musuh islam, daripada bermalam dengan seorang gadis meskipun ia sangat cantik dan ia menyukainya. Bagaimana seorang putra Abu Bakar rela menceraikan istri yang sangat dicintanya (istrinya juga demikian) hanya karena perintah ayahnya yang mengkhawatirkan putranya akan lebih mencintai istrinya dibanding Allah dan RasulNya jika pernikahan itu diteruskan. Bagaimana seorang Bilal yang menyerahkan seorang gadis yang hendak dipinangnya kepada sahabatnya, karena ayah gadis itu lebih menyukai sahabatnya dengan penuh ikhlas.. begitu banyak kisah tauladan bagaiamana seharusnya kita menjaga rasa, mengungkapkan, dan menyikapinya. Apakah dengan mengutamakan cinta kepada Allah dan RasulNya, mereka merasa rugi?? Bahkan mereka bangga atas tingkat iman yang berhasil diraihnya.. bagaimana dengan kita?
Sejujurnya bukan ana ingin merasa sok pintar dengan apa yang ana sampaikan. Semoga Allah melindungi ana dari ucapan yang tak sanggup ana lakukan. Ana juga tak inginkan murkaNya. Ana tegaskan, bahwa ana tulis semua ini sebagai sahabat yang menyayangi antum, sebagai sahabat seiman, yang menunaikan kewajibanya untuk mengingatkan. Dan sangat mungkin, lain kali antum harus ingatkan ana jika salah. Karena antum juga punya kewajiban untuk mengingatkan kesalahan yang terindera, bukan?
Semoga Allah tak lelah membimbing kita di jalanNya

www.sobatmudamuslim.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar